Thursday, March 26, 2015

Tentang Takoyaki's New Wrold

Hajimemashite! Saya admin utama di sini. Panggil saja Mifta.Saya baru kelas delapan, sekolah di SMP Negeri 5 Probolinggo

Takoyaki's New World adalah blog yang AKAN menyediakan macam-macam. Mulai dari cerpen, artikel, film, e-book novel sampai MP3. Tapi kalian semua harus sabar menungu, modem saya hampir sekarat. Ini tanggal tua. Dan doakan juga semoga Ayah saya mau memasang Wifi di rumah.




Cerpen: Gaji Pertama



Takoyaki datang! Tadi malam, ketika di toilet, dewa ide tiba-tiba lewat. Dan sejam kemudian lahirlah karya ini. Saya nge-post ini juga nggak ikhlas-ikhlas amat, saya mengharapkan kritik dan saran dari kalian. Dan kalau mau copas, gpp tapi sertakan sumbernya, oke! 
Gaji Pertama
Ini semua bermula saat aku ke toko buku dan dompetku lagi kempes. Tersiksa rasanya, saat banyak buku (novel) bagus di rak dan kau hanya bisa beli satu. Itu membuatku berpikir, kenapa tidak dari dulu saja aku mencari kerja sampingan? Jualan online misalnya? Tapi apa yang bisa kujual? Buku pelajaran? KBBI? Buku gambar?
            “Rana, besok ultahnya Bia lho, kamu udah siap kadonya?” Diar! Diar! Telingaku seperti tersambar geledek di siang hari. Bia adalah sahabatku yang lain, dia sekelas sama Nindi. Tidak denganku.
            “Sekarang aku kaum duafa” jawabku tanpa minat. Tapi aku tidak malu mengakui kemiskinanku pada Nindi. Dia lebih dari sekedar sahabatku.
            Ia melongok ke dompetku, lalu kedompetnya. Aku bisa lihat ekspresi terkejut di wajahnya. Ya, aku tau, semua pahlawan di dompetku pada kabur.
            “Silahkan mengajukan surat keterangan miskin ke kecamatan” Ledeknya. “Aku dapat gaji dari ngeblog, kamu bisa coba”
            Ia berasumsi bahwa semua rumah punya koneksi internet yang bagus. Ia tidak tau kalau modemku jalannya pelaaaaan sekali. Keturunan siput.
            “Aku malas ngunggah video” Matanya langsung terbelalak, nyaris meluncur dari tempatnya.  “Apa?” Tanyaku.
            “Kamu itu tulalit atau apa sih?” Ia lupa kalau matematikaku sembilan dan bahasa inggrisku sempurna. “Nggak harus ngunggah video! Kamu bisa nulis, kayak rumus matematika The Queen versi kamu atau sehari jago tenses ala Rana” Dari nada bicaranya jelas dia menyindirku. 
            “Modemku lemot” Kataku akhirnya.
            “Oke, kalau begitu aku nggak bisa bantu. Kasih aja Bia sandal jepit swallow, bilang kalau kamu belinya di Korea!” Yeah, harga sandal itu dua ratus ribu di Korea. Ide bagus.
            Di rumah aku berpikir keras. Kalau dipikir-pikir uang jajanku yang dua ratus ribu perbulan membuatku kurang gizi. Aku bertanya-tanya apakah  jualan sandal jepit di Korea itu ide bagus atau bukan. Dalam sekejap aku bisa kaya. Tapi kos tentu mahal di sana. Aku googling, dan sempat memasak mi instant waktu internetnya loading. Setelah itu aku bertanya-tanya kepada google yang baik hati “bagaimana caranya mendapat uang untuk pelajar SMP kelas tiga tanpa membebani belajar”. Mungkin terdengar seperti curhat karena keywordsnya panjang sekali. Dan loadingnya lama lagi, aku memutuskan untuk mencuci piring...
             Akhirnya ketemu. Cara pertama: Ikut PTC (Paid to Click) aku membaca caranya, butuh banyak koneksi internet. Terleliminasi. Kedua: Jasa Download. Yang benar saja! Untuk membuka artikel ini kira-kira aku butuh waktu selama memasak + makan dengan kunyahan 36 (sampai mi instanku benar-benar lumat di mulut dan lambungku rasanya tak perlu mengahaluskannya lagi) + cuci piring. Bayangkan lamanya kalau aku download. Ketiga: Jasa kerjakan PR. Aku agak pelit soal PR dan tidak ingin menjatuhkan karirku sendiri di kelas. Bahkan demi segudang novel. Keempat: tanya kepada teman yang dirasa sudah sukses. “Sial” kataku dalam hati.
Aku perlu konsultasi pada Firda, dia... sainganku dalam masalah peringkat. Kesuksesannya sudah kondang. Pak Rafhan – penanggung jawab majalah sekolah – sering menyebut-nyebut Firda. Tapi aku nggak yakin dia mau nolong.
            Besoknya di sekolah aku semakin ingin menjalankan ideku jualan sandal ke Korea. Ya ampun, semua orang membicarakan novel baru saat ini. Dan mereka pelit karena aku juga pelit. Aku menyesal jadi orang pelit.
            “Firda...” Panggilku selembut mungkin. Ia menoleh, syukurlah.
            “Apa?” Wajahnya tak bersahabat. Jadi lebih baik langsung ke permasalahan saja.
            “Kamu ketua tim redaksi kan? Ada lowongan nggak?” Aku nggak yakin, tapi rautnya sudah lebih ‘jinak’ sekarang.
            “Ada! Kamu mau masuk? Kami kekurangan artikel. Apa saja, cerpen, resensi, kumpulan rumus, terserah. Besok deadline. Oke? Perlembar dua puluh ribu. Kalau layak baca” Dia langsung pergi.
            “Hei, aku belum bilang deal?” Tapi okelah. 
            Sepulang sekolah aku sibuk mencari ide. Kenapa sekarang dewa ide tidak lewat? Aku hampir sekarat, deadlinenya besok, ngomongnya tadi. Bayangkan! Aku lihat tv, cari inspirasi. Dan ketemu. Jariku langsung menekan-nekan keyboard dengan semangat berlebihan. Dua jam kemudian, artikel berjudul “No Drugs, You Save” karya Rana terlahir. Segera aku kirimkan ke Firda, balasannya enam jam kemudian.
            Besok pembagian gajinya, kalau dimuat kamu dipanggil. Makasih.
            Besoknya aku seperti ikan di darat karena tak ada yang mencariku sama sekali.
Senin, hari perkumpulan tim redaksi. Saat Pak Rafhan tanya siapa saja yang karyanya akan segera dimuat, hanya aku... yang tidak mengacungkan tangan. Ironis bukan? Aku ingin bergulat dengan Firda saat itu juga.
            “Rana, kamu kirim apa kemain, nak?” Pak Rafhan, dengan senyum bersahabat.
            “Artikel remaja, judulnya No Drugs, You Save
            “Bapak nggak pernah nerima artikel itu. Mungkin gagal terkirim di email” Mungkin. Aku memikirkan kata-kata jahat untuk Firda.
            “Kamu bawa softcopy-nya sekarang?”
            “Ya” Ada sepercik harapan.
            Jantungku tidak bisa tenang menunggu, kemarin pak Rafhan membaca karyaku di rumahnya. Dan saatnya penentuan. Jika sampai sepulang sekolah dia tidak menghubungiku, aku batal ke toko buku.
            Istirahat kedua, masih sama. Aku tidak dipanggil siapa-siapa, mukaku mendung berat. Saat melangkah ke kantin, satu tangan menepuk pundakku, aku berbalik. Firda. Kemudian dengan tidak terlalu sopan dia menarikku ke lobi.
            “Kamu nggak denger apa pengumuman tadi?” Pengumuman apa? Aku tidak tau kalau ada pengumuman. “Waktunya gajian, gajiku ditunda berkat kamu”
            Apa ini? Aku tak percaya pelangi datang di tengah-tengah badai salju. Sumpah! Aku bahagia, karena empat puluh ribu rupiah. Tapi kebahagiaan itu lebih karena kepuasan daripada jadi ke toko buku. Aku bahagia karena karyaku dimuat. Dan tak ada yang lebih memuaskan daripada menerima hasil jerih payahmu sendiri. Mungkin mulai dari sekarang aku bisa berhenti merengek minta uang ke ibuku.